Selasa, 17 November 2009

BAHASA SUROBOYOAN

Oleh

Endang Sholihatin

. Bahasa erat penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari baik secara verbal maupun non verbal. Kedudukan bahasa sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain

Setiap budaya memiliki ke”khas’an bahasa yang dinamakan dialek, begitu juga dengan budaya arek surabaya yang memiliki dialek Suroboyoan atau yang lebih dikenal dengan Bahasa Suroboyoan. Perhatian masyarakat terhadap kajian linguistik penggunaan bahasa arek / bahasa suroboyoan relatif sedikit, namun demikian masyarakat luas (masyarakat Surabaya) telah menggunakannya sebagai bagian dari alat komunikasi sehari-hari. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Hal dipertegas pernyataan Kadaruslan (www.suarasurabaya.net) bahasa Surabaya memiliki unggah-ungguh tergantung kontekstual pemakaiannya. Karakter bahasa Suroboyoan lekat karakter Arek Suroboyo memiliki karakter solidaritas yang tinggi, guyub, demokratis, kerakyatan, anti feodalisme, dan egaliter. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.

Berikut kosa kata khas Suroboyoan:

  • "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
  • "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
  • "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
  • "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
  • "mari" berarti "selesai";(bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan "wis mari tah?" yang berarti "sudah selesai kah?" Pengertian ini sangat berbeda dengan "mari" dalam Bahasa Jawa Standar. Selain petutur Dialek Suroboyoan, "mari" berarti "sembuh"
  • "mene" berarti "besok" (bahasa Jawa standar: sesuk);
  • "maeng" berarti tadi.
  • "koen" (diucapkan "kon") berarti "kamu" (bahasa Jawa standar: kowe). Kadangkala sebagai pengganti "koen", kata "awakmu" juga digunakan. Misalnya "awakmu wis mangan ta?" (Kamu sudah makan kah?") Dalam bahasa Jawa standar, awakmu berarti "badanmu" (awak = badan)
  • "lading" berarti "pisau" (bahasa Jawa standar: peso);
  • "lugur" berarti "jatuh" (bahasa Jawa standar: tiba);
  • "dhukur" berarti "tinggi" (bahasa Jawa standar: dhuwur);
  • "thithik" berarti "sedikit" (bahasa Jawa standar: sithik);
  • "temen" berarti "sangat" (bahasa Jawa standar: banget);
  • "pancet" berarti "tetap sama" ((bahasa Jawa standar: tetep);
  • "iwak" berarti "lauk" (bahasa Jawa standar: lawuh, "iwak" yang dimaksud disini adalah lauk-pauk pendamping nasi ketika makan, "mangan karo iwak tempe", artinya Makan dengan lauk tempe, dan bukanlah ikan (iwak) yang berbentuk seperti tempe);
  • "engkuk" (u diucapkan o) berarti "nanti" (bahasa Jawa standar: mengko);
  • "ndhek" berarti "di" (bahasa Jawa standar: "ing" atau "ning"; dalam bahasa Jawa standar, kata "ndhek" digunakan untuk makna "pada waktu tadi", seperti dalam kata "ndhek esuk" (=tadi pagi),"ndhek wingi" (=kemarin));
  • "nontok" lebih banyak dipakai daripada "nonton";
  • "yok opo" (diucapkan /y@?@p@/) berarti "bagaimana" (bahasa Jawa standar: "piye" atau *"kepiye"; sebenarnya kata "yok opo" berasal dari kata "kaya apa" yang dalam bahasa Jawa standar berarti "seperti apa")
  • "peno"/sampeyan (diucapkan pe n@; samp[e]yan dengan huruf e seperti pengucapan kata meja) artinya kamu
  • "jancuk" ialah kata kurang ajar yang sering dipakai seperti "fuck" dalam bahasa Inggris; merupakan singkatan dari bentuk pasif "diancuk"; variasi yang lebih kasar ialah "mbokmu goblok"; oleh anak muda sering dipakai sebagai bumbu percakapan marah
  • "waras" ialah sembuh dari sakit (dlm bahasa jawa tengah sembuh dari penyakit jiwa)
  • "embong" ialah jalan besar / jalan raya
  • "nyelang" arinya pinjam sesuatu
  • "parek/carek" artinya dekat
  • "ndingkik" artinya mengintip
  • "semlohe" artinya sexy (khusus untuk perempuan)

"jancuk" dari kata 'dancuk' dan turunan dari 'diancuk' dan turunan dari 'diencuk' yg artinya 'disetubuhi' ('dientot' bahasa betawinya) orang jawa (golongan mataraman) pada umumnya menganggap dialek suroboyoan adalah yang terkasar. tapi sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. sikap basa basi yang diagung-agungkan wong jawa, tidak berlaku dalam kehidupan arek suroboyo. misalnya dalam berbicara, wong jawa menekankan tdak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tdak sopan. Tapi dalam budaya arek suroboyo,itu tanda bahwa orang tersebut sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara.

Selain itu, sering pula ada kebiasaan di kalangan penutur dialek Surabaya, dalam mengekspresikan kata 'sangat', mereka menggunakan penekanan pada kata dasarnya tanpa menambahkan kata sangat (bangat atau temen), misalnya "sangat panas" sering diucapkan "puanas", "sangat pedas" diucapkan "puedhes", "sangat enak" diucapkan "suedhep" dsb.

  • Hawane puanas (udaranya panas sekali)
  • Sambele iku puedhes (sambal itu pedas sekali)

Selain itu. salah satu ciri lain dari bahasa Jawa dialek Surabaya, dalam memberikan perintah menggunakan kata kerja, kata yang bersangkutan direkatkan dengan akhiran -no. Dalam bahasa Jawa standar, biasanya direkatkan akhiran -ke

  • "Uripno (Jawa standar: urip-ke) lampune!" (Hidupkan lampunya!)
  • "Tukokno (Jawa standar: tukok-ke) kopi sakbungkus!" (Belikan kopi sebungkus!)

Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

Suyudi. Ichwan. 1997.Pengantar Linguistik Umum. Gunadarma Press. Jakarta

http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1103106-150751/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Surabaya

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91433&lokasi=lokal



Senin, 20 April 2009

PISUHAN ITU APA?
Endang Sholihatin

Kata Pisuhan merupakan bagian dari ragam bahasa dalam suatu budaya. Setiap bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu budaya selalu terdapat kosakata pisuhan, dengan kata lain setiap bahasa memiliki ragam kata pisuhan. Namun demikian setiap kita ditanya apa definisi dari pisuhan, akan muncul banyak jawaban. Berikut merupakan definisi pisuhan dari hasil penelitian saya.
Pisuhan atau kata pisuhan adalah sebuah kata yang diucapkan seseorang dengan intonasi tertentu untuk mendapatkan rasa lega yang ditujukan kepada orang lain ataupun tanpa ada yang dituju guna mengekspresikan emosi marah, kesal, sedih, kecewa, takut, kaget, bangga, kagum, senang, dan yang lebih unik adalah untuk menyapa teman dekat serta untuk menunjukkan suatu keakraban dalam berkomunikasi.

Alamku Magetan


Gunung Lawu cantik disaat kabut datang pada kaki-gunung






Ke Sarangan yuk 3 Km lagi, seru....







Sarangan Tampak dari jauh, asik kan...




jangan lupa ke pulau kecil di tengah Sarangan






ke Magetan jangan lupa ke LAWU dan SARANGAN




aLAM INDONESIA selalu mempesona...

Kamis, 16 April 2009

PISUHAN TIDAK SELALU BERMAKNA NEGATIF
Endang Sholihatin

Kata Pisuhan tidak selalu bermakna negatif,. Maksud kata negatif disini adalah dekat dengan makna menyakiti (perasaan) melalui kata-kata yang terucap karena emosi marah, kesal, sedih, kecewa, takut, kaget. Pada suatu komunitas tertentu kata pisuhan merupakan bagian dari sapaan kekeluargaan dan keakraban diantara anggota komunitas. Seperti yang ada pada komunitas sketer yang ada di Kota Surabaya, mereka mengucapkan kata-kata pisuhan untuk menunjukkan keakraban. Begitu juga individu yang dikenai pisuhan tidak marah malah membalas sapaan itu dengan pisuhan juga.

Ilustrasi dialog diantara mereka dapat digambarkan sebagai berikut:
A: He... nandi ae cuk raimu gak tau ketok, tak kiro mati.
B: matamu a…iku… aku karo bojoku.
A: walah uripmu mbojo tok ae, eling anake uwong iku, dirabekno kapok.
B: tambah seneng aku…ha...ha...
A: cuk...ancuk
PISUHAN BUDAYA AREK
Endang Sholihatin

Bahasa merupakan alat komunikasi manusia sehingga manusia tidak dapat lepas dari bahasa. Bahasa yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan cara untuk mengungkapkan ide-ide dan pikiran-pikiran kepada orang lain. Bahasa juga dapat mempengaruhi orang lain serta dapat dijadikan sebagai alat untuk mengangkat anggota masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan untuk menjadi masyarakat yang kuat, bersatu dan maju. Ragam bahasa dalam interaksi manusia bermacam-macam. Manusia mempunyai ragam bahasa yang dipengaruhi oleh pikiran, emosi, dan budaya manusia. Ragam bahasa dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari bagaimana manusia mengungkapkan rasa senang, bangga, kagum, benci, sedih, kecewa, kesal, sakit hati, dan sebagainya. Ekspresi manusia dalam mengungkapkan perasaannya melalui bahasa bermacam-macam, salah satunya melalui pisuhan. Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) (1976: 624) menjelaskan “pisuhan” merupakan kosakata bahasa Jawa yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia, disamping itu bahasa Indonesia juga tidak memiliki kosakata yang mampu mengklasifikasikan bermacam-macam pisuhan berdasarkan kekhasannya.
Kata-kata pisuhan sering digunakan oleh anak-anak, remaja, dan juga orang dewasa dengan latar belakang situasi dan kondisi yang berbeda-beda. Semua lapisan masyarakat, baik itu masyarakat yang berprofesi/ berkelas sosial rendah, menengah ataupun tinggi tidak lepas dari penggunaan kata pisuhan. Kata-kata pisuhan yang digunakan oleh masyarakat sangat lekat dengan budayanya, penelitian ini meneliti penggunaan kata pisuhan pada budaya arek Surabaya.
Budaya Arek Suroboyo merupakan salah satu sub-kultur budaya Arek yang di kenal dalam berbagai wilayah geografis di Jawa Timur, seperti Malang, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Jombang, sebagian Kediri dan Blitar (Jawa Pos, 2007). Media komunikasi lokal yang biasa digunakan masyarakat Surabaya dikenal dengan bahasa arek. Bahasa lekat dengan budaya masyarakat, kata-kata pisuhan dalam budaya arek mempunyai karakteristik yang khas. Budaya arek yang masih lekang adalah sapaan Cuk atau diancuk (Kompas, 2001). Oleh sebagian orang (tidak terbatas orang di luar Surabaya, tapi juga orang Jawa Timur sendiri) menganggap bahasa Suroboyoan cukup kasar (M. Djupri, 2008). Meski ada anggapan orang luar Surabaya bahwa bahasa arek Surabaya kasar, menurut Cak Kadaruslan meski kasar, tapi bahasa Surabaya memiliki unggah-ungguh tergantung kontekstual pemakaiannya (Suara Surabaya, 2008). Penggunaan kata-kata pisuhan pada budaya Arek Surabaya sering diucapkan pada suasana cangkrukan, permainan adon doro (adu balapan burung dara) yang merupakan budaya arek yang masih melekat, serta pada interaksi antar anggota masyarakat di Surabaya.
Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti (April-Mei 2008) kata pisuhan yang digunakan pada budaya arek Surabaya yaitu jancuk (dancuk, ancuk, jancik, ancik, cuk), gathèl ( gatèl, nggatèli, nggathèli), jamput (damput), jaran, jangkrik, wedus, matamu, bajingan, taèk, asêm, jambu, asu, patèk (Madura; anjing), kémpas (walikan dari sémpak), dan lain-lain. Penggunaan kata-kata tersebut ada juga yang dirangkai, misalnya jancuk_asu, taè-k_asu, dan cuk_gatèli.
Penelitian mengenai penggunaan kata pisuhan ini cukup menarik karena pertama dalam interaksi antar individu di masyarakat kita sering mendengar kata-kata pisuhan yang biasanya muncul dalam komunikasi. Kedua ragam kata-kata pisuhan sangat banyak karena dipengaruhi oleh budaya. Ketiga terdapat paradoks dimana kata-kata pisuhan merupakan bahasa tabu diucapkan namun dalam interaksi antar individu kata-kata pisuhan malah sering diucapkan. Keempat Budaya Arek Surabaya dikenal orang dari luar Surabaya kasar. Kelima penelitian mengenai kata-kata pisuhan jarang dilakukan.
Manfaat penelitian ini adalah pertama manfaat teoretis, mengembangkan kajian deskriptif macam-macam kata pisuhan untuk menambah teori dalam ilmu linguistik terutama psikolinguistik, pragmatik, dan analisis wacana. Kedua manfaat praktis, mengetahui deskripsi macam-macam kata pisuhan dan deskripsi konteks penggunaan kata-kata pisuhan digunakan.