Kamis, 11 April 2013

Bahasa dan Budaya

bahasa dan budaya adalah dua terminologi yang tidak terpisahkan. bahasa bagian dari budaya. individu mempelajari budaya untuk bisa berbudaya

Selasa, 19 April 2011

PISUHAN MASYARAKAT AREK DAN MASYARAKAT MATARAMAN


Oleh
Endang Sholihatin



A. Latar Belakang Masalah
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adalah manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, bahasa memunyai peran penting untuk menentukan keberhasilan sebuah komunikasi. Bahasa yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan cara untuk mengungkapkan ide-ide dan pikiran-pikiran kepada orang lain. Bahasa juga dapat memengaruhi orang lain serta dapat dijadikan sebagai alat untuk mengangkat anggota masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan untuk menjadi masyarakat yang kuat, bersatu dan maju (Kartomiharjo, 1988:1).
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1990:180). Hal itu tampak pada penjelasan Koentjaraningrat (1990:203-204) mengenai tujuh unsur kebudayaan yakni (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (4) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
Berbicara mengenai kaitan bahasa dan budaya, di Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam 10 wilayah kebudayaan seperti diungkapkan Sudikan yaitu wilayah: Jawa Mataraman, Jawa Ponorogoan, Arek, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Bawean, dan Madura Kangenan (http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News &conf =v&id=1226, diakses 20 Juni 2009). Dengan latar belakang budaya yang beragam, bahasa yang digunakan beragam juga.
Ragam bahasa dalam interaksi manusia bermacam-macam. Hal ini karena kehidupan manusia yang kompleks. Manusia memunyai ragam bahasa yang dipengaruhi pikiran, emosi, dan budaya manusia. Ragam bahasa dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari melalui manusia mengungkapkan rasa senang, bangga, kagum, benci, sedih, kecewa, kesal, sakit hati, dan sebagainya.
Pengggunaan pisuhan merupakan realisasi dari fungsi ekspresif bahasa, yaitu untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur. Fungsi bahasa menurut Leech (1974:52-54) ada lima macam, yaitu (1) fungsi informasional, digunakan untuk mengungkapkan makna konseptual, (2) fungsi ekspresif, digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur, (3) fungsi direktif, digunakan untuk memengaruhi perilaku seseorang, (4) fungsi estetik, digunakan untuk menghasilkan karya sastra, khususnya puisi, dan (5) fungsi fatis, digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terjaga.
Ekspresi manusia dalam mengungkapkan perasaannya melalui bahasa bermacam-macam, salah satunya melalui pisuhan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005:880) menjelaskan pisuhan merupakan kata-kata yang dilontarkan karena marah. Kisyani (1985) menjelaskan yang termasuk dalam pisuhan itu ada dua hal yaitu memaki dan mengumpat. Memaki yaitu misuh di depan seseorang atau sekelompok orang yang dituju sedangkan mengumpat yaitu misuh dibelakang seseorang atau sekelompok orang yang dituju atau misuh tanpa ada yang dituju.
Pisuhan adalah pengungkapan rasa kesal terhadap sesuatu yang tidak memuaskan. Bagi beberapa pemahaman moral tertentu, pisuhan ini tergolong kasar. Tapi itu memang dikembalikan kepada niat mengucapkan kata-kata tersebut. Pisuhan bukan hanya dimaksudkan untuk merendahkan lawan bicara atau objek misuh, tapi lebih mirip pada semacam pemuasan diri sendiri, melepas beban. Pada dasarnya setiap jenis kata apapun bisa menjadi kata pisuhan. Ada dua hal yang menjadi syarat minimal bagi sebuah kata untuk menjadi pisuhan, yaitu intonasi dan tujuan. Kedua syarat inilah yang menjadi faktor pembeda antara sebuah kata pisuhan dan sebuah kata biasa (http://www.wiki.cahandong.org/pisuhan.html/2008/05/20).
Pisuhan merupakan aktivitas komunikasi secara verbal sebagai salah satu sarana untuk menjalankan fungsi emotif bahasa. Fungsi emotif (untuk menyatakan perasaan) merupakan salah satu fungsi bahasa di samping lima fungsi bahasa menurut Jakobson (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995) yaitu retorikal, fatik, kognitif, metalingual, dan puitik.
Ragam bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dipengaruhi latar belakang budaya. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti (Juni-Juli 2010) pada umumnya pisuhan yang digunakan masyarakat Arek yaitu makmu cancutan seng, mbokne ancuk, jancuk (dancuk, ancuk, jancik, ancik, cuk), gathèl (gatèl, nggatèli, nggathèli), jamput (damput), kenthir, jaran, jangkrik, matamu, bajingan, taèk, modar, asu, patèk (Madura; anjing), mbahmu kemping, gendheng. Pisuhan yang digunakan masyarakat Mataraman pada umumnya yaitu bajindul, bajigur, bajingseng, bajingpret, sompret, goblok, bodo, jangkrik, semprul, tuma kathok, ora melek, dhengkulmu mlocot, ndasmu, udelmu bodong, dhapurmu, mbahmu, asem, kémpas (walikan dari sémpak), ora waras, lammbemu, singkek, kebo.
Penelitian mengenai pisuhan cukup menarik karena pertama, dalam interaksi antarindividu baik di masyarakat maupun di kalangan masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman kita sering mendengar pisuhan yang biasanya muncul dalam komunikasi antarindividu yang intim dalam suasana santai dan akrab. Kedua, ragam pisuhan banyak karena dipengaruhi budaya dan kondisi individu. Ketiga, terdapat paradoks bahwa pisuhan merupakan bahasa tabu diucapkan namun dalam interaksi antarindividu pisuhan justru sering diucapkan.
Peneliti memilih lokasi penelitian pisuhan masyarakat Arek tepatnya di Kota Surabaya dan pisuhan masyarakat Mataraman tepatnya di Kota Yogyakarta. Alasan memilih lokasi di Surabaya dan Yogyakarta adalah pertama, masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman memiliki karakteristik dan latar belakang budaya yang berbeda sehingga hasil pisuhan lebih variatif. Kedua, Surabaya merupakan pusatnya Jawa Timur dan Yogyakarta merupakan pusatnya budaya Jawa Tengah, yang keduanya merupakan suku Jawa tetapi terdapat perbedaan atau variasi dalam penggunaan pisuhan.
Selain itu, masyarakat/budaya Arek yang terdapat di Kota Surabaya memiliki bahasa yang dikenal dengan Boso Surabayaan yang mencerminkan sikap egaliter, blak-blakan, dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa standar pada umumnya. Masyarakat Surabaya dikenal cukup fanatik dan bangga terhadap bahasanya. Satu hal lagi, masyarakat di Surabaya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa (http://wisatasurabaya.indonesiatravel.biz.kota-surabaya).
Mengenai budaya Mataraman yang terdapat di Kota Yogyakarta secara antropologi budaya berasal dari suku Jawa. Suku Jawa adalah orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan kesehariannya dan bertempat tinggal di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur (Damami, 2002:61). Masyarakat Yogyakarta tentunya memiliki temperamen yang agak bertolak belakang dengan masyarakat yang ada di Surabaya, yang tentunya lebih halus tutur bahasanya. Hal itu dapat diamati pada ragam tingkatan bahasa yang digunakan. Masyarakat Yogyakarta mengenal ragam tingkatan bahasa seperti ngoko, krama lugu, krama alus, dan krama inggil, serta kental dengan budaya kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa.
Adapun beberapa tempat di Surabaya dan Yogyakarta yang biasa digunakan berinteraksi masyarakat sehingga memungkinkan munculnya pisuhan adalah gardu atau pos ronda, pasar, angkringan, pangkalan ojek, pangkalan becak, warung makan, warung kopi, terminal, dan lapangan tempat bermain dan berolahraga. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya banyak orang, selalu ramai, dan potensial muncul berbagai pisuhan.

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan fokus penelitian sebagai berikut:
1.perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
2.perbandingan konteks pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
3.perbandingan sikap seseorang yang dikenai pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
4.perbandingan makna pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas maka penelitian yang berjudul pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman betujuan untuk:
1.menghasilkan deskripsi perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan yang digunakan masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
2.menghasilkan deskripsi perbandingan konteks pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
3.menghasilkan deskripsi perbandingan sikap seseorang yang dikenai pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
4.menghasilkan deskripsi perbandingan makna pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari segi teoretis dan segi praktis, yaitu sebagai berikut ini.
1.Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang pertama, memberikan manfaat dalam mengembangkan kajian deskriptif mengenai perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan, konteks pisuhan, sikap seseorang yang dikenai pisuhan, dan makna pisuhan dari dua kota yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Manfaat teoretis yang kedua, menambah wawasan dan pemahaman serta tambahan khasanah penelitian dalam bidang ilmu linguistik terutama psikolinguistik, pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana.
2.Manfaat Praktis
bermanfaat untuk mengetahui perbandingan deskripsi jenis-jenis referensi pisuhan, konteks pisuhan, sikap seseorang yang dikenai pisuhan, dan makna pisuhan. Selain itu dapat menambah wawasan dan pemahaman yang tepat mengenai penggunaan pisuhan sehingga bermanfaat dalam berkomunikasi yaitu tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan pisuhan. Sehinnga individu satu dengan individu lainnya tidak mengalami masalah (salah persepsi) dalam berkomunikasi.

PENGGUNAAN KATA PISUHAN BERDASARKAN GENDER

Macam-Macam Kata Pisuhan Berdasarkan Gender

Hasil wawancara yang dilakukan kepada lima belas mahasiswa diperoleh macam-macam kata pisuhan berdasarkan gender sebagai berikut:

No

Perempuan

Laki-laki

1

Ha... opo yo? O.. silit, empret, pret, tilis, keat, anjrit, hampok, patek, pukimai, cukimai, palak, taek, hamput, kencret, tak kencingi matamu, dasar lontong pisang mangga bengkoang salak tomat apel apukat. Ha... lucu.

Jancuk, taek, asu, jembut, konthol, gatheli, gapleki, ngencuk, nggebleh.

2

Jancik, jembret, jancuk, jamput, mbahmu, makmu, lambemu, matamu, untumu, entut, gundulmu, anjing, goblok, gendeng, silit, jembut , Gathel, cuk, asem, monyet, taek, peak,ndasmu, gombale mukiyo, setan, picek, becak, kucing, sempel, hamsong, kirik, corot, bathukmu.

Asu, dancuk,jancuk, jiancuk, matamu, raimu, dobol, setan, iblis, mancok (mbae telek; Madura), telek, patek, damput, diamput, picek, bajingan, fuck, suck, ususmu, udelmu, silit, manuk, kunam, bathuk, kirik, jembut, kere, bangkak, cocotmu, cucuk, dodol, gendheng, edan, stre, step, miring, kenthir, gathel, konthol, bawuk, jangkrik, asem, untumu, entutmu, gaplek.

3

Dancuk, jambret, ancik, jancik, jembut, jambu, anjing, babi, sudah itu aja gak ada lagi.

Ala… Sama aja ha… Nonok (alat kelamin perempuan; Jakarta), memek, ngentot (bersetubuh; Jakarta), bodat (monyet; Batak), asu, bujang nginam (bujang lapuk; Batak), martole jong-jong (bersetubuh sambil berdiri; Batak), pilat (alat kelamin laki-laki; Lampung), kalempong (alat kelamin laki-laki; Padang), pantek (alat kelamin perempuan; Padang). Nenen (menyusu; Jakarta), konthol, pidong (alat kelamin laki-laki; Batak), mbokne ancuk, lonthe, perek, anjing, babi, monyet, sapi, jancuk, cuk, asu, gathel, gaplek, matamu, ndasmu, bajingan, tai,taek, telek, babi, kere, gila, naskleng (leak; Bali).

4

Cuk, dancuk, gathel, asu, rupamu, anjing, sompret, babi ngepet, jembut jaran, dobol, telek pitik, raimu, tai jaran, wedus gibas, kethek ogleng, dhemit, setan alas, monyong, mrongos, untu njengat, jemb ut, tempek, peli jaran, sempel, kopler, matamu picek, baga asumawek (bajingan, gathel, asu, matamu suwek), sekarat, mati, mampus, brengsek, monyet, gendheng, stres, itil, entut jaran, silit dobol,cangkemu, jeruk, jambu, pakan wedhus, lele dhumbo, susu gedhi, bajingan tengik, pitik kawin

Patek (anjing; Madura), motak / ketek/ monyet, Poken-mbukna/ poken-mbuknah tak ebecco (vaginanya ibumu gak dibasuh; Madura), pokeh raja (vaginamu besar; Madura), mamaknah/ mamaknah tak eyancok, (Bapakmu tak setubuhi; Madura), bupaknah (Bapakmu; Madura), jancuk, gateli, asem, jangkrik, anjrit, pukimak (vaginanya ibumu), cukimak (penisnya bapakmu), setan ,celeng.

5

Ancuk, ancik, asu, anjing, brengsek, bento, bodho, bajingan, bangsat, bolot, bedes, congok, cangkemu, dogok, dungu, dobol, eror, endel, ethes (kemayu/ sok cantik), edan, goblok, gendheng, geblek, gathel, hancik, jancuk, kakek’ane, lambemu, lemot, makmu, matamu, mrongos, ndhasmu, ndheng, patek, raimu, selowot, stres, tempek, tai, taek, tugel (cebol), udelmu, upil, untumu, utekmu.

Kucing, anjing, ayam, tikus, kelinci, kecoak, curut, kepiting, telor, tempe, tahu, jancuk, cuk, gathel, gaplek, tak jejeki, asu, babi, gasel, kingkong, ngengek cambah, terngengek-ngengek, tempek, konthol, kunam, kuntil anak, pitik, manuk.

6

anjing , jancuk, telaso (makasar) – tahi, anjing, fuck, tahi, sit

Jancuk, hancuk, dancuk, dangkrik, hangkrik jamput ,tilis, TJ (telek jemek), Telek, tempek, konthol, asu, cuk, gathel, kirik, goblok, botol (bolote konthol), wedhus, gondrong, bedes, jembut, kekekmu, gaplek,turuk, matamu, ndasmu.

7

Kampret, jangkrik, asu, pejuh asu, pejuh jaran, oncrot kewan, dapurmu, gatel, gadul, asem, jambu, gaplek, jembut, tahi, taek, gombal, kere, matane pece, dengkulmu, mbahmu, mbahe sangkil, pakdhemu, mbokdhemu, jaran. Banyak sih...he...emm kirik, anjing, peli jaran, jembut singo, jancuk, demit, setan, trus lonte, ganjen, gengek, bajingan, garangan, tikus, eee..., goblok, emm oon, lemot, stress, kopler, koplo, utek bosok, matane ora melek, bongko, modar, truss ee..., jamput, banjet, semprong bolong, mmm.... blek borot, silit, itil, trus...bawuk, turuk, kontol, empal gondrong, anu matamu suwek, ndasmu penceng, congormu, trus kithing, apa ya...(sambil mengingat) geblek, bego’, mak lampir, monster, sudah itu aja. Wis okeh. Ha...ha..

Jancuk,Asu,Matamu, raimu,Silit,Gatel,Bajingan,Turuk,Ancrit,,Asu ,raimu,Curut,Dalbo,Djancuk,Cuk,Petek,Puki,Kacuk ,ndung kabah (tempik mamakmu),Kontol, Jembut, Dancuk, jangkrik, janjuk, sogok petek, kakek ane, gathel, asu, mbokne ancuk, matamu, kakikmu, nggateli, jamput.

Selasa, 17 November 2009

BAHASA SUROBOYOAN

Oleh

Endang Sholihatin

. Bahasa erat penggunaannya dalam komunikasi sehari-hari baik secara verbal maupun non verbal. Kedudukan bahasa sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Saussure yang berpendapat bahwa bahasa adalah sistem tanda yang arbitrer digunakan dalam memecahkan masalah-masalah linguistik. Secara umum, bidang ilmu bahasa dibedakan atas linguistik murni dan linguistik terapan. Bidang linguistik murni mencakup fonetik, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Sedangkan bidang linguistik terapan mencakup pengajaran bahasa, penerjemahan, leksikografi, dan lain-lain

Setiap budaya memiliki ke”khas’an bahasa yang dinamakan dialek, begitu juga dengan budaya arek surabaya yang memiliki dialek Suroboyoan atau yang lebih dikenal dengan Bahasa Suroboyoan. Perhatian masyarakat terhadap kajian linguistik penggunaan bahasa arek / bahasa suroboyoan relatif sedikit, namun demikian masyarakat luas (masyarakat Surabaya) telah menggunakannya sebagai bagian dari alat komunikasi sehari-hari. Dialek Surabaya atau lebih sering dikenal sebagai bahasa Suroboyoan adalah sebuah dialek bahasa Jawa yang dituturkan di Surabaya dan sekitarnya. Dialek ini berkembang dan digunakan oleh sebagian masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Secara struktural bahasa, bahasa Suroboyoan dapat dikatakan sebagai bahasa paling kasar. Meskipun demikian, bahasa dengan tingkatan yang lebih halus masih dipakai oleh beberapa orang Surabaya, sebagai bentuk penghormatan atas orang lain. Hal dipertegas pernyataan Kadaruslan (www.suarasurabaya.net) bahasa Surabaya memiliki unggah-ungguh tergantung kontekstual pemakaiannya. Karakter bahasa Suroboyoan lekat karakter Arek Suroboyo memiliki karakter solidaritas yang tinggi, guyub, demokratis, kerakyatan, anti feodalisme, dan egaliter. Namun demikian penggunaan bahasa Jawa halus (madya sampai krama) di kalangan orang-orang Surabaya kebanyakan tidaklah sehalus di Jawa Tengah terutama Yogyakarta dan Surakarta dengan banyak mencampurkan kata sehari-hari yang lebih kasar.

Berikut kosa kata khas Suroboyoan:

  • "Pongor, Gibeng, Santap, Waso (istilah untuk Pukul atau Hantam);
  • "ae" berarti "saja" (bahasa Jawa standar: wae);
  • "gak" berarti "tidak" (bahasa Jawa standar: ora);
  • "arek" berarti "anak" (bahasa Jawa standar: bocah);
  • "mari" berarti "selesai";(bahasa Jawa standar: rampung); acapkali dituturkan sebagai kesatuan dalam pertanyaan "wis mari tah?" yang berarti "sudah selesai kah?" Pengertian ini sangat berbeda dengan "mari" dalam Bahasa Jawa Standar. Selain petutur Dialek Suroboyoan, "mari" berarti "sembuh"
  • "mene" berarti "besok" (bahasa Jawa standar: sesuk);
  • "maeng" berarti tadi.
  • "koen" (diucapkan "kon") berarti "kamu" (bahasa Jawa standar: kowe). Kadangkala sebagai pengganti "koen", kata "awakmu" juga digunakan. Misalnya "awakmu wis mangan ta?" (Kamu sudah makan kah?") Dalam bahasa Jawa standar, awakmu berarti "badanmu" (awak = badan)
  • "lading" berarti "pisau" (bahasa Jawa standar: peso);
  • "lugur" berarti "jatuh" (bahasa Jawa standar: tiba);
  • "dhukur" berarti "tinggi" (bahasa Jawa standar: dhuwur);
  • "thithik" berarti "sedikit" (bahasa Jawa standar: sithik);
  • "temen" berarti "sangat" (bahasa Jawa standar: banget);
  • "pancet" berarti "tetap sama" ((bahasa Jawa standar: tetep);
  • "iwak" berarti "lauk" (bahasa Jawa standar: lawuh, "iwak" yang dimaksud disini adalah lauk-pauk pendamping nasi ketika makan, "mangan karo iwak tempe", artinya Makan dengan lauk tempe, dan bukanlah ikan (iwak) yang berbentuk seperti tempe);
  • "engkuk" (u diucapkan o) berarti "nanti" (bahasa Jawa standar: mengko);
  • "ndhek" berarti "di" (bahasa Jawa standar: "ing" atau "ning"; dalam bahasa Jawa standar, kata "ndhek" digunakan untuk makna "pada waktu tadi", seperti dalam kata "ndhek esuk" (=tadi pagi),"ndhek wingi" (=kemarin));
  • "nontok" lebih banyak dipakai daripada "nonton";
  • "yok opo" (diucapkan /y@?@p@/) berarti "bagaimana" (bahasa Jawa standar: "piye" atau *"kepiye"; sebenarnya kata "yok opo" berasal dari kata "kaya apa" yang dalam bahasa Jawa standar berarti "seperti apa")
  • "peno"/sampeyan (diucapkan pe n@; samp[e]yan dengan huruf e seperti pengucapan kata meja) artinya kamu
  • "jancuk" ialah kata kurang ajar yang sering dipakai seperti "fuck" dalam bahasa Inggris; merupakan singkatan dari bentuk pasif "diancuk"; variasi yang lebih kasar ialah "mbokmu goblok"; oleh anak muda sering dipakai sebagai bumbu percakapan marah
  • "waras" ialah sembuh dari sakit (dlm bahasa jawa tengah sembuh dari penyakit jiwa)
  • "embong" ialah jalan besar / jalan raya
  • "nyelang" arinya pinjam sesuatu
  • "parek/carek" artinya dekat
  • "ndingkik" artinya mengintip
  • "semlohe" artinya sexy (khusus untuk perempuan)

"jancuk" dari kata 'dancuk' dan turunan dari 'diancuk' dan turunan dari 'diencuk' yg artinya 'disetubuhi' ('dientot' bahasa betawinya) orang jawa (golongan mataraman) pada umumnya menganggap dialek suroboyoan adalah yang terkasar. tapi sebenarnya itu menujukkan sikap tegas, lugas, dan terus terang. sikap basa basi yang diagung-agungkan wong jawa, tidak berlaku dalam kehidupan arek suroboyo. misalnya dalam berbicara, wong jawa menekankan tdak boleh memandang mata lawan bicara yang lebih tua atau yang dituakan atau pemimpin, karena dianggap tdak sopan. Tapi dalam budaya arek suroboyo,itu tanda bahwa orang tersebut sejatinya pengecut, karena tidak berani memandang mata lawan bicara.

Selain itu, sering pula ada kebiasaan di kalangan penutur dialek Surabaya, dalam mengekspresikan kata 'sangat', mereka menggunakan penekanan pada kata dasarnya tanpa menambahkan kata sangat (bangat atau temen), misalnya "sangat panas" sering diucapkan "puanas", "sangat pedas" diucapkan "puedhes", "sangat enak" diucapkan "suedhep" dsb.

  • Hawane puanas (udaranya panas sekali)
  • Sambele iku puedhes (sambal itu pedas sekali)

Selain itu. salah satu ciri lain dari bahasa Jawa dialek Surabaya, dalam memberikan perintah menggunakan kata kerja, kata yang bersangkutan direkatkan dengan akhiran -no. Dalam bahasa Jawa standar, biasanya direkatkan akhiran -ke

  • "Uripno (Jawa standar: urip-ke) lampune!" (Hidupkan lampunya!)
  • "Tukokno (Jawa standar: tukok-ke) kopi sakbungkus!" (Belikan kopi sebungkus!)

Semoga bermanfaat.

Daftar Pustaka

Suyudi. Ichwan. 1997.Pengantar Linguistik Umum. Gunadarma Press. Jakarta

http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-1103106-150751/

http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Jawa_Surabaya

http://www.digilib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?id=91433&lokasi=lokal



Senin, 20 April 2009

PISUHAN ITU APA?
Endang Sholihatin

Kata Pisuhan merupakan bagian dari ragam bahasa dalam suatu budaya. Setiap bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi dalam suatu budaya selalu terdapat kosakata pisuhan, dengan kata lain setiap bahasa memiliki ragam kata pisuhan. Namun demikian setiap kita ditanya apa definisi dari pisuhan, akan muncul banyak jawaban. Berikut merupakan definisi pisuhan dari hasil penelitian saya.
Pisuhan atau kata pisuhan adalah sebuah kata yang diucapkan seseorang dengan intonasi tertentu untuk mendapatkan rasa lega yang ditujukan kepada orang lain ataupun tanpa ada yang dituju guna mengekspresikan emosi marah, kesal, sedih, kecewa, takut, kaget, bangga, kagum, senang, dan yang lebih unik adalah untuk menyapa teman dekat serta untuk menunjukkan suatu keakraban dalam berkomunikasi.

Alamku Magetan


Gunung Lawu cantik disaat kabut datang pada kaki-gunung






Ke Sarangan yuk 3 Km lagi, seru....







Sarangan Tampak dari jauh, asik kan...




jangan lupa ke pulau kecil di tengah Sarangan






ke Magetan jangan lupa ke LAWU dan SARANGAN




aLAM INDONESIA selalu mempesona...

Kamis, 16 April 2009

PISUHAN TIDAK SELALU BERMAKNA NEGATIF
Endang Sholihatin

Kata Pisuhan tidak selalu bermakna negatif,. Maksud kata negatif disini adalah dekat dengan makna menyakiti (perasaan) melalui kata-kata yang terucap karena emosi marah, kesal, sedih, kecewa, takut, kaget. Pada suatu komunitas tertentu kata pisuhan merupakan bagian dari sapaan kekeluargaan dan keakraban diantara anggota komunitas. Seperti yang ada pada komunitas sketer yang ada di Kota Surabaya, mereka mengucapkan kata-kata pisuhan untuk menunjukkan keakraban. Begitu juga individu yang dikenai pisuhan tidak marah malah membalas sapaan itu dengan pisuhan juga.

Ilustrasi dialog diantara mereka dapat digambarkan sebagai berikut:
A: He... nandi ae cuk raimu gak tau ketok, tak kiro mati.
B: matamu a…iku… aku karo bojoku.
A: walah uripmu mbojo tok ae, eling anake uwong iku, dirabekno kapok.
B: tambah seneng aku…ha...ha...
A: cuk...ancuk