Oleh
Endang Sholihatin
Endang Sholihatin
A. Latar Belakang Masalah
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam kehidupan sehari-hari adalah manusia tidak lepas dari kegiatan berkomunikasi. Dalam berkomunikasi, bahasa memunyai peran penting untuk menentukan keberhasilan sebuah komunikasi. Bahasa yang digunakan manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan cara untuk mengungkapkan ide-ide dan pikiran-pikiran kepada orang lain. Bahasa juga dapat memengaruhi orang lain serta dapat dijadikan sebagai alat untuk mengangkat anggota masyarakat pemakai bahasa yang bersangkutan untuk menjadi masyarakat yang kuat, bersatu dan maju (Kartomiharjo, 1988:1).
Menurut Koentjaraningrat, bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar (1990:180). Hal itu tampak pada penjelasan Koentjaraningrat (1990:203-204) mengenai tujuh unsur kebudayaan yakni (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (4) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan (7) kesenian.
Berbicara mengenai kaitan bahasa dan budaya, di Jawa Timur dapat dikelompokkan dalam 10 wilayah kebudayaan seperti diungkapkan Sudikan yaitu wilayah: Jawa Mataraman, Jawa Ponorogoan, Arek, Samin (sedulur Sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Bawean, dan Madura Kangenan (http://www.ristek.go.id/index.php?mod=News &conf =v&id=1226, diakses 20 Juni 2009). Dengan latar belakang budaya yang beragam, bahasa yang digunakan beragam juga.
Ragam bahasa dalam interaksi manusia bermacam-macam. Hal ini karena kehidupan manusia yang kompleks. Manusia memunyai ragam bahasa yang dipengaruhi pikiran, emosi, dan budaya manusia. Ragam bahasa dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari melalui manusia mengungkapkan rasa senang, bangga, kagum, benci, sedih, kecewa, kesal, sakit hati, dan sebagainya.
Pengggunaan pisuhan merupakan realisasi dari fungsi ekspresif bahasa, yaitu untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur. Fungsi bahasa menurut Leech (1974:52-54) ada lima macam, yaitu (1) fungsi informasional, digunakan untuk mengungkapkan makna konseptual, (2) fungsi ekspresif, digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur, (3) fungsi direktif, digunakan untuk memengaruhi perilaku seseorang, (4) fungsi estetik, digunakan untuk menghasilkan karya sastra, khususnya puisi, dan (5) fungsi fatis, digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terjaga.
Ekspresi manusia dalam mengungkapkan perasaannya melalui bahasa bermacam-macam, salah satunya melalui pisuhan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2005:880) menjelaskan pisuhan merupakan kata-kata yang dilontarkan karena marah. Kisyani (1985) menjelaskan yang termasuk dalam pisuhan itu ada dua hal yaitu memaki dan mengumpat. Memaki yaitu misuh di depan seseorang atau sekelompok orang yang dituju sedangkan mengumpat yaitu misuh dibelakang seseorang atau sekelompok orang yang dituju atau misuh tanpa ada yang dituju.
Pisuhan adalah pengungkapan rasa kesal terhadap sesuatu yang tidak memuaskan. Bagi beberapa pemahaman moral tertentu, pisuhan ini tergolong kasar. Tapi itu memang dikembalikan kepada niat mengucapkan kata-kata tersebut. Pisuhan bukan hanya dimaksudkan untuk merendahkan lawan bicara atau objek misuh, tapi lebih mirip pada semacam pemuasan diri sendiri, melepas beban. Pada dasarnya setiap jenis kata apapun bisa menjadi kata pisuhan. Ada dua hal yang menjadi syarat minimal bagi sebuah kata untuk menjadi pisuhan, yaitu intonasi dan tujuan. Kedua syarat inilah yang menjadi faktor pembeda antara sebuah kata pisuhan dan sebuah kata biasa (http://www.wiki.cahandong.org/pisuhan.html/2008/05/20).
Pisuhan merupakan aktivitas komunikasi secara verbal sebagai salah satu sarana untuk menjalankan fungsi emotif bahasa. Fungsi emotif (untuk menyatakan perasaan) merupakan salah satu fungsi bahasa di samping lima fungsi bahasa menurut Jakobson (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 1995) yaitu retorikal, fatik, kognitif, metalingual, dan puitik.
Ragam bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dipengaruhi latar belakang budaya. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan peneliti (Juni-Juli 2010) pada umumnya pisuhan yang digunakan masyarakat Arek yaitu makmu cancutan seng, mbokne ancuk, jancuk (dancuk, ancuk, jancik, ancik, cuk), gathèl (gatèl, nggatèli, nggathèli), jamput (damput), kenthir, jaran, jangkrik, matamu, bajingan, taèk, modar, asu, patèk (Madura; anjing), mbahmu kemping, gendheng. Pisuhan yang digunakan masyarakat Mataraman pada umumnya yaitu bajindul, bajigur, bajingseng, bajingpret, sompret, goblok, bodo, jangkrik, semprul, tuma kathok, ora melek, dhengkulmu mlocot, ndasmu, udelmu bodong, dhapurmu, mbahmu, asem, kémpas (walikan dari sémpak), ora waras, lammbemu, singkek, kebo.
Penelitian mengenai pisuhan cukup menarik karena pertama, dalam interaksi antarindividu baik di masyarakat maupun di kalangan masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman kita sering mendengar pisuhan yang biasanya muncul dalam komunikasi antarindividu yang intim dalam suasana santai dan akrab. Kedua, ragam pisuhan banyak karena dipengaruhi budaya dan kondisi individu. Ketiga, terdapat paradoks bahwa pisuhan merupakan bahasa tabu diucapkan namun dalam interaksi antarindividu pisuhan justru sering diucapkan.
Peneliti memilih lokasi penelitian pisuhan masyarakat Arek tepatnya di Kota Surabaya dan pisuhan masyarakat Mataraman tepatnya di Kota Yogyakarta. Alasan memilih lokasi di Surabaya dan Yogyakarta adalah pertama, masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman memiliki karakteristik dan latar belakang budaya yang berbeda sehingga hasil pisuhan lebih variatif. Kedua, Surabaya merupakan pusatnya Jawa Timur dan Yogyakarta merupakan pusatnya budaya Jawa Tengah, yang keduanya merupakan suku Jawa tetapi terdapat perbedaan atau variasi dalam penggunaan pisuhan.
Selain itu, masyarakat/budaya Arek yang terdapat di Kota Surabaya memiliki bahasa yang dikenal dengan Boso Surabayaan yang mencerminkan sikap egaliter, blak-blakan, dan tidak mengenal ragam tingkatan bahasa seperti Bahasa Jawa standar pada umumnya. Masyarakat Surabaya dikenal cukup fanatik dan bangga terhadap bahasanya. Satu hal lagi, masyarakat di Surabaya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras. Salah satu penyebabnya adalah jauhnya Surabaya dari kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa (http://wisatasurabaya.indonesiatravel.biz.kota-surabaya).
Mengenai budaya Mataraman yang terdapat di Kota Yogyakarta secara antropologi budaya berasal dari suku Jawa. Suku Jawa adalah orang yang secara turun-temurun menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai ragam dialeknya dalam kehidupan kesehariannya dan bertempat tinggal di wilayah Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur (Damami, 2002:61). Masyarakat Yogyakarta tentunya memiliki temperamen yang agak bertolak belakang dengan masyarakat yang ada di Surabaya, yang tentunya lebih halus tutur bahasanya. Hal itu dapat diamati pada ragam tingkatan bahasa yang digunakan. Masyarakat Yogyakarta mengenal ragam tingkatan bahasa seperti ngoko, krama lugu, krama alus, dan krama inggil, serta kental dengan budaya kraton yang dipandang sebagai pusat budaya Jawa.
Adapun beberapa tempat di Surabaya dan Yogyakarta yang biasa digunakan berinteraksi masyarakat sehingga memungkinkan munculnya pisuhan adalah gardu atau pos ronda, pasar, angkringan, pangkalan ojek, pangkalan becak, warung makan, warung kopi, terminal, dan lapangan tempat bermain dan berolahraga. Tempat-tempat tersebut merupakan tempat berkumpulnya banyak orang, selalu ramai, dan potensial muncul berbagai pisuhan.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat dirumuskan fokus penelitian sebagai berikut:
1.perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
2.perbandingan konteks pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
3.perbandingan sikap seseorang yang dikenai pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
4.perbandingan makna pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan fokus penelitian di atas maka penelitian yang berjudul pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman betujuan untuk:
1.menghasilkan deskripsi perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan yang digunakan masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
2.menghasilkan deskripsi perbandingan konteks pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
3.menghasilkan deskripsi perbandingan sikap seseorang yang dikenai pisuhan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman.
4.menghasilkan deskripsi perbandingan makna pisuhan yang digunakan pada masyarakat Arek dan masyarakat Mataraman
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini dapat dilihat dari segi teoretis dan segi praktis, yaitu sebagai berikut ini.
1.Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang pertama, memberikan manfaat dalam mengembangkan kajian deskriptif mengenai perbandingan jenis-jenis referensi pisuhan, konteks pisuhan, sikap seseorang yang dikenai pisuhan, dan makna pisuhan dari dua kota yang berbeda dan latar belakang yang berbeda pula. Manfaat teoretis yang kedua, menambah wawasan dan pemahaman serta tambahan khasanah penelitian dalam bidang ilmu linguistik terutama psikolinguistik, pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana.
2.Manfaat Praktis
bermanfaat untuk mengetahui perbandingan deskripsi jenis-jenis referensi pisuhan, konteks pisuhan, sikap seseorang yang dikenai pisuhan, dan makna pisuhan. Selain itu dapat menambah wawasan dan pemahaman yang tepat mengenai penggunaan pisuhan sehingga bermanfaat dalam berkomunikasi yaitu tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan pisuhan. Sehinnga individu satu dengan individu lainnya tidak mengalami masalah (salah persepsi) dalam berkomunikasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar